Advertisements
Pemprov Sulbar

Mereka mengobrak-abrik, merusak, dan bahkan mengotori tempat makan dan minumnya dengan kotoran manusia. Rumah Demmatande dan rumah warganya juga dibakar. Perlakuan Ini dianggap sebagai penghinaan besar dan semakin mempercepat perlawanan fisik Demmatande.

Sebagai respons, Demmatande dan pasukannya membangun Benteng Salubanga, sebuah benteng alami yang selesai pada 1914. Pada 11 Agustus 1914, serangan pertama Belanda berhasil dipukul mundur. Pertempuran kedua pada 9 Oktober 1914 juga dimenangkan oleh Demmatande, bahkan setelah Belanda mengirimkan pasukan tambahan lengkap dengan meriam.

Menyadari kemampuan perang Demmatande, Belanda mempersiapkan serangan ketiga dengan sangat matang pada 20 Oktober 1914. Operasi intelijen dilakukan untuk memutus Rantai logistik pasukan Demmatande. Di bawah pimpinan Kopral Staphanus Melfibosset Anthony, seorang prajurit elite kawakan, serangan ini sangat ambisius. Demmatande akhirnya terpojok, namun ia memerintahkan sebagian pasukannya untuk meninggalkan benteng.

Demmatande memilih untuk bertempur hingga titik darah terakhir. Ia gugur di dalam benteng bersama istri dan sekitar 30 pengikut setianya pada 20 Oktober 1914. Beberapa koran Belanda bahkan menyebutkan korban mencapai 80 orang. Atas keberhasilannya menumpas Demmatande, Kopral Anthony dianugerahi bintang kehormatan oleh ratu Belanda.

Jejak Perjuangan yang Tak Pernah Padam

Meski Demmatande telah gugur, semangat perjuangannya terus hidup. Sejumlah pengikutnya, seperti Bongga Upa (putra Demmatande), Daeng Palana, dan Pua’ Sela, berhasil selamat dari operasi pembersihan Belanda dan melanjutkan perlawanan dengan taktik gerilya. Pada Juni 1915, Daeng Palana memimpin serangan balasan di Buntu Lika. Perlawanan terakhir datang dari Andola Ulusalu pada 1924, namun ia tertangkap dan ditembak mati.

Jejak perlawanan Demmatande menjadi bagian penting dari sejarah nasional Indonesia dan menginspirasi perjuangan bangsawan lokal lainnya di Sulawesi.

Advertisements
DPPRD SUlbar 2025

YouTube player