Memaknai Jejak Perjuangan Demmatande Menuju Gelar Pahlawan Nasional
Ahli Waris Demmatande, Irvandi Demmatande, mengaku terharu atas dukungan dari berbagai pihak yang terus berdatangan untuk mendukung penetapan Demmatande sebagai Pahlawan Nasional yang telah berjalan beberapa tahun.
“Dukungan yang datang termasuk salah satunya dari Unsulbar ini tentu menjadi penguatan, dan bentuk solidaritas bersama kita sebagai warga Sulbar yang bangga dengan Tokoh Pahlawan nasional, seperti yang dikatakan Pak Rektor bahwa semoga kita bisa mendorong tokoh lainnya. Tentu dengan semangat seperti hari ini, semangat kebersamaan,” terangnya.
Dirinya menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang begitu banyak dan terus mendukungnya.
Salah satu pembicara dalam sarasehan tersebut, Adi Arwan Alimin menyoroti perjuangan Demmatande sebagai simbol persatuan, bukan sekadar perlawanan individu. Ia menjelaskan bahwa perlawanan Demmatande berakar pada nilai dan ikatan kultural yang mendalam, yang menunjukkan kekuatan budaya dalam menghadapi penindasan.
Demmatande dan Sumpah Assitalliang
Menurut Adi Arwan Alimin, Demmatande bukanlah pejuang tunggal dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Perjuangannya merupakan bagian dari jalinan persatuan yang diikat oleh
Sumpah Assitalliang. Ia menemukan sekutu dalam sosok I Calo Ammana Wewang, seorang bangsawan dan panglima dari pesisir Mandar. Pertemuan mereka mencerminkan ikatan kuno antara Pitu Ulunna Salu (PUS) dan Pitu Baqbana Binanga (PBB).
- Pitu Ulunna Salu (PUS): Melambangkan kekuatan hulu, yaitu rakyat di pegunungan yang menjaga daratan dari musuh.
- Pitu Baqbana Binanga (PBB): Mewakili kekuatan muara, yaitu para pelaut dan bangsawan pesisir yang langsung berhadapan dengan ancaman kolonial dari laut.
Keduanya dianggap sebagai “mata hitam dan mata putih” dalam filosofi Mandar-sisaraq, yang berarti memiliki fungsi berbeda namun tidak bisa dipisahkan. Sumpah Assitalliang menekankan bahwa PUS dan PBB tidak dapat dipisahkan selama mata hitam dan mata putih masih bersatu.

Tinggalkan Balasan