Memaknai Jejak Perjuangan Demmatande Menuju Gelar Pahlawan Nasional
RAKYAT NEWS, MAJENE – Semangat Kemerdekaan masih menggema di Majene dalam acara sarasehan bertajuk “Memaknai Jejak, Etos dan Nilai-nilai Juang Demmatande (Pejuang Perintis Kemerdekaan 1872-1914) Menuju Indonesia Emas 2045” berlangsung di Gedung Teater Baharuddin Lopa, Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), Rabu, (27/8/2025).
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman sejarah tentang pejuang perintis kemerdekaan Demmatande, yang saat ini dalam proses nominasi untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Dibuka secara resmi oleh Rektor Universitas Sulawesi Barat, Prof. Dr. Muhammad Abdy, S.Si., M.Si, Mengajak para tamu yang hadir dengan mengingat nilai juang Demmatande, kita dapat meneladani keberanian beliau.
“Khususnya Banyak generasi muda, perlu menggali keberanian dan jiwa pantang menyerah para pahlawan, kita berharap itu menjadi teladan kepada kita yang muda,” ujar prof Abdy.
Dirinya menegaskan bahwa Unsulbar sangat mendukung kegiatan semacam ini, dan tentu saja Unsulbar siap baik itu dukungan akademisi yang ada di sini, dan juga fasilitas kami siap dukung, terlebih jika kedepan akan ada lagi karena kita banyak tokoh di Sulbar.
“Sedangkan sampai hari ini, baru yang kedua ini semoga dengan masuknya Demmatande sebagai nominasi pahlawan nasional menjadi jalan untuk kedepan bisa kita dorong yang lain, seperti I Manna Wewam,” terangnya.
Dihadiri ratusan peserta, meliputi perwakilan lintas generasai, diantaranya mahasiswa dari Unsulbar dan STAIN Majene, komunitas, pegiat literasi, serta tokoh masyarakat se-Sulawesi Barat.
Beberapa narasumber yang akan hadir adalah Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Barat, Rektor Unsulbar, Dr. Suryadi Mappangara, Dr. (can) Anis Kurniawan, Irvandi Demmatande (ahli waris), Adi Arwan Alimin, Abba Tammalele, dan Thamrin Uai Randang. Selain sarasehan, acara juga akan menampilkan pameran sketsa/ilustrasi, pembacaan puisi, dan dialog.
Ahli Waris Demmatande, Irvandi Demmatande, mengaku terharu atas dukungan dari berbagai pihak yang terus berdatangan untuk mendukung penetapan Demmatande sebagai Pahlawan Nasional yang telah berjalan beberapa tahun.
“Dukungan yang datang termasuk salah satunya dari Unsulbar ini tentu menjadi penguatan, dan bentuk solidaritas bersama kita sebagai warga Sulbar yang bangga dengan Tokoh Pahlawan nasional, seperti yang dikatakan Pak Rektor bahwa semoga kita bisa mendorong tokoh lainnya. Tentu dengan semangat seperti hari ini, semangat kebersamaan,” terangnya.
Dirinya menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang begitu banyak dan terus mendukungnya.
Salah satu pembicara dalam sarasehan tersebut, Adi Arwan Alimin menyoroti perjuangan Demmatande sebagai simbol persatuan, bukan sekadar perlawanan individu. Ia menjelaskan bahwa perlawanan Demmatande berakar pada nilai dan ikatan kultural yang mendalam, yang menunjukkan kekuatan budaya dalam menghadapi penindasan.
Demmatande dan Sumpah Assitalliang
Menurut Adi Arwan Alimin, Demmatande bukanlah pejuang tunggal dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Perjuangannya merupakan bagian dari jalinan persatuan yang diikat oleh
Sumpah Assitalliang. Ia menemukan sekutu dalam sosok I Calo Ammana Wewang, seorang bangsawan dan panglima dari pesisir Mandar. Pertemuan mereka mencerminkan ikatan kuno antara Pitu Ulunna Salu (PUS) dan Pitu Baqbana Binanga (PBB).
- Pitu Ulunna Salu (PUS): Melambangkan kekuatan hulu, yaitu rakyat di pegunungan yang menjaga daratan dari musuh.
- Pitu Baqbana Binanga (PBB): Mewakili kekuatan muara, yaitu para pelaut dan bangsawan pesisir yang langsung berhadapan dengan ancaman kolonial dari laut.
Keduanya dianggap sebagai “mata hitam dan mata putih” dalam filosofi Mandar-sisaraq, yang berarti memiliki fungsi berbeda namun tidak bisa dipisahkan. Sumpah Assitalliang menekankan bahwa PUS dan PBB tidak dapat dipisahkan selama mata hitam dan mata putih masih bersatu.
Sumpah ini bukan hanya kontrak, melainkan filosofi pertahanan yang unik: menjaga perbedaan sambil tetap setia satu sama lain.
Makna Sumpah Assitalliang dan Nilai-Nilai Perjuangan
Sumpah Assitalliang adalah ikatan eksistensial yang menegaskan daratan dan lautan sebagai satu kesatuan yang harus dijaga bersama. Sumpah ini mencakup beberapa poin penting:
- Sipamandar: Saling menguatkan satu sama lain.
- Dandan Bassi: Mengikat persaudaraan sekuat baja.
- Tuuppuang Bassi: Gelar kehormatan bagi Ammana Wewang yang menegaskan ikatan yang kokoh.
Perjuangan Demmatande dan Ammana Wewang melawan Belanda bukan sekadar konflik lokal, melainkan perlawanan yang berjiwa kolektif. Perlawanan rakyat Mandar lahir dari jaringan budaya dan kekerabatan yang kuat, yang membuat perjuangan Demmatande bertahan lama meski menghadapi tekanan militer kolonial.
Secara strategis, sinergi antara PUS dan PBB menjadikan Mandar tangguh menghadapi Belanda. Daerah hulu menjadi benteng gerilya yang sulit ditembus, sementara daerah muara menjadi pusat perlawanan politik dan jalur logistik. Koordinasi ini dimungkinkan berkat fondasi
Sumpah Assitalliang.
Filsafat Sisaraq dan Relevansinya Hari Ini
Adi Arwan Alimin menjelaskan bahwa filosofi sisaraq dari Sumpah Assitalliang masih relevan di era modern. Filosofi ini mengajarkan tentang:
Harmoni dalam Perbedaan: Perbedaan tidak perlu dilebur, tetapi dijaga dalam harmoni karena setiap entitas memiliki peran uniknya.
- Persatuan dalam Peran: Persatuan bukan berarti keseragaman, melainkan keterikatan dalam peran yang berbeda untuk menciptakan kekuatan kolektif.
- Kesetiaan Sejati: Kesetiaan lahir dari kesadaran bahwa tanpa orang lain, diri kita akan kehilangan makna esensialnya.
Menurut Adi Arwan Alimin, perjuangan Demmatande adalah cerminan bagaimana budaya, sumpah, dan perjuangan bersatu dalam melawan kolonialisme. Warisan ini adalah bagian integral dari warisan nasional Indonesia. Ia juga menekankan bahwa leluhur adalah kekuatan, karena di sanalah kekuatan moral perjuangan berakar dan menginspirasi.
Profile Demmatande Perintis Kemerdekaan dari Sulawesi Barat
Demmatande, atau dikenal juga dengan nama Daeng Matande, adalah seorang tokoh bangsawan dan pejuang kemerdekaan dari Mamasa, Sulawesi Barat. Lahir pada tahun 1872 di Paladan, sebuah daerah di Onderafdeling Mamasa, Demmatande dikenal karena perlawanannya yang gigih terhadap penjajahan Belanda antara tahun 1905 dan 1914.
Ia berasal dari keluarga bangsawan tinggi bernama Tana’ Bulawan, yang berarti “kasta emas”. Ayahnya, Bongga Masirin, adalah kepala Kampung Paladan yang saat ini terletak di Kecamatan Sesenapadang, Kabupaten Mamasa.
Pada masa remajanya di tahun 1890-an, Kampung Paladan masih stabil dan memiliki sistem pemerintahan sendiri yang diwariskan secara turun-temurun.
Namun, situasi mulai berubah ketika Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menaklukkan wilayah di luar Jawa dan Sumatera, termasuk Sulawesi Selatan dan Barat, karena khawatir akan ekspansi kekuasaan Inggris di Asia Tenggara. Kebijakan ini memicu kerusuhan di kalangan bangsawan yang merasa terganggu.
Perlawanan Terhadap Belanda
Perlawanan fisik pertama Demmatande dimulai pada 1907, ketika ia membantu sahabatnya I Ammana Wewang menolak campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Barat. Perlawanan ini tidak hanya didasari oleh ketidakadilan kebijakan Belanda, tetapi juga solidaritas antara kerajaan di pesisir Pitu Babana Binanga dan pegunungan Pitu Ulunna Salu.
Dengan 300 pasukannya, Demmatande turun dari gunung untuk membantu I Ammana Wewang, yang membuat namanya masuk dalam daftar hitam Belanda sebagai “pemberontak”. Pada 1910, pasukan Belanda mulai memasuki wilayah Pitu Ulunna Salu. Mereka menunjuk kepala desa boneka (Parengge) untuk memungut pajak tinggi dan upeti dari masyarakat.
Ketika masyarakat tidak mampu membayar, mereka dipaksa melakukan kerja rodi untuk membangun jalan dari Takatikung ke Jembatan Kunyi, Polewali. Demmatande, yang tidak ingin keluarganya disiksa, ikut serta dalam kerja rodi ini.
Amarah Demmatande memuncak setelah dua tahun menjalani kerja paksa, terutama ketika ia melihat tentara Marsose memukuli rakyatnya. Bersama pasukannya, ia melancarkan pemberontakan dengan membunuh mandor dan tentara Marsose yang mengawasi kerja rodi.
Kejadian ini menyebabkan ribuan pekerja melarikan diri ke hutan. Pasukan Belanda mengejar Demmatande hingga ke kampung halamannya di Sumule dan Lita’ Lea, Paladan, pada tahun 1912.
Benteng Salubanga dan Pertempuran Terakhir
Melalui informasi dari mata-mata, Belanda berhasil menemukan tempat tinggal Demmatande.
Mereka mengobrak-abrik, merusak, dan bahkan mengotori tempat makan dan minumnya dengan kotoran manusia. Rumah Demmatande dan rumah warganya juga dibakar. Perlakuan Ini dianggap sebagai penghinaan besar dan semakin mempercepat perlawanan fisik Demmatande.
Sebagai respons, Demmatande dan pasukannya membangun Benteng Salubanga, sebuah benteng alami yang selesai pada 1914. Pada 11 Agustus 1914, serangan pertama Belanda berhasil dipukul mundur. Pertempuran kedua pada 9 Oktober 1914 juga dimenangkan oleh Demmatande, bahkan setelah Belanda mengirimkan pasukan tambahan lengkap dengan meriam.
Menyadari kemampuan perang Demmatande, Belanda mempersiapkan serangan ketiga dengan sangat matang pada 20 Oktober 1914. Operasi intelijen dilakukan untuk memutus Rantai logistik pasukan Demmatande. Di bawah pimpinan Kopral Staphanus Melfibosset Anthony, seorang prajurit elite kawakan, serangan ini sangat ambisius. Demmatande akhirnya terpojok, namun ia memerintahkan sebagian pasukannya untuk meninggalkan benteng.
Demmatande memilih untuk bertempur hingga titik darah terakhir. Ia gugur di dalam benteng bersama istri dan sekitar 30 pengikut setianya pada 20 Oktober 1914. Beberapa koran Belanda bahkan menyebutkan korban mencapai 80 orang. Atas keberhasilannya menumpas Demmatande, Kopral Anthony dianugerahi bintang kehormatan oleh ratu Belanda.
Jejak Perjuangan yang Tak Pernah Padam
Meski Demmatande telah gugur, semangat perjuangannya terus hidup. Sejumlah pengikutnya, seperti Bongga Upa (putra Demmatande), Daeng Palana, dan Pua’ Sela, berhasil selamat dari operasi pembersihan Belanda dan melanjutkan perlawanan dengan taktik gerilya. Pada Juni 1915, Daeng Palana memimpin serangan balasan di Buntu Lika. Perlawanan terakhir datang dari Andola Ulusalu pada 1924, namun ia tertangkap dan ditembak mati.
Jejak perlawanan Demmatande menjadi bagian penting dari sejarah nasional Indonesia dan menginspirasi perjuangan bangsawan lokal lainnya di Sulawesi.
Pada 2025, Kementerian Sosial Republik Indonesia mengusulkan Demmatande, bersama 10 tokoh lainnya, untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP). Kementerian Sosial juga telah menyatakan bahwa Demmatande memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional.
Acara sarasehan ini diselenggarakan oleh kolaborasi beberapa instansi, termasuk Tim Sekretariat CPN Demmatande Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Barat, Universitas Sulawesi Barat, STAIN Majene, Masyarakat Sejarawan Indonesia Sulbar, Pegiat Literasi Sulbar, TP2GD Provinsi Sulawesi Barat, dan Keluarga Besar Pejuang Demmatande.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan