RAKYAT NEWS, POLMAN – Tepat pada musim Pilkada 2024, Polewali Mandar (Polman) dikejutkan dengan sebuah keputusan yang mengguncang relasi politik lokal. Ketua DPD I Partai Golkar Polman, Syamsul Mahmud, atau yang akrab disapa Aji Assul, memilih menggandeng Andi Nursami Masdar sebagai calon wakil bupati, mengusik komitmen yang pernah ia serukan: menentang dinasti Matakali, sebuah rezim yang mendominasi perpolitikan Polman selama bertahun-tahun. Bagi banyak orang, langkah ini menyerupai sebuah ironi dalam pertarungan politik yang penuh janji perubahan.

Pengamat sosial politik Sulawesi Barat, Awaluddin, melihat tindakan Aji Assul sebagai sebuah inkonsistensi yang menggugurkan harapan. Sebelumnya, Aji Assul dikenal sebagai sosok yang bersuara lantang menolak kepemimpinan Bupati Andi Ibrahim Masdar (AIM), figur yang ia kritik sebagai simbol kekuasaan yang stagnan dan dinasti yang merajai Polman tanpa memperhatikan perubahan signifikan. Awaluddin menganggap keputusan Aji Assul untuk bekerja sama dengan dinasti yang pernah ia kritik keras telah membuka kembali pintu bagi rezim Matakali untuk menguasai Polman.

“Ini bukan lagi soal pilihan politik semata, tetapi tentang tanggung jawab moral kepada masyarakat yang menginginkan perubahan,” ujar Awaluddin, menyesalkan inkonsistensi Aji Assul. “Jika dinasti politik terus diberi ruang, maka ini adalah kemunduran besar bagi demokrasi di Polman.”

Awal mengenang harapannya yang sempat tinggi pada 2020 lalu, saat ia bersama politisi muda dan aktivis Polman menyusun visi masa depan tanpa bayang-bayang dinasti. Baginya, semangat yang dulu menyala kini terancam sirna, tenggelam di balik ambisi kekuasaan yang tak lagi berkomitmen pada perubahan.

Di bawah bayangan dinasti Matakali, kepemimpinan di Polman dan Sulawesi Barat nyaris tak terlepas dari nama besar keluarga Masdar. Dari Ali Baal Masdar (ABM) yang mengemban jabatan bupati selama dua periode hingga dilanjutkan oleh adiknya, Andi Ibrahim Masdar, rezim ini tak hanya menyisakan nama tetapi juga warisan politik yang menancap kuat di berbagai posisi penting pemerintahan. Awaluddin menilai hal ini sebagai sebuah “cengkeraman dinasti” yang menutup kesempatan bagi generasi baru untuk tampil dalam arena politik.

Sikap Aji Assul juga menuai kritik dari dalam partai. Jamaluddin, seorang kader senior Golkar, mempertanyakan keputusannya yang dianggap bertentangan dengan perjuangan partai. Ia mengenang bagaimana Aji Assul dulunya mendapatkan simpati luas karena janji dan kritiknya yang tajam terhadap rezim AIM. Saat itu, Aji Assul dianggap sebagai figur yang berani, yang bersumpah untuk memperbaiki infrastruktur dan kebersihan Polman yang tak kunjung membaik. Namun kini, keberaniannya seolah memudar, berubah menjadi langkah politik yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk kompromi demi kemenangan.

“Aji Assul pernah mengusung semangat perubahan dan menentang dinasti. Kini, ia justru menggandeng pihak yang ia kritik selama ini. Jika ini adalah cara untuk meraih kekuasaan, lalu di mana komitmen yang dulu disuarakan?” ujar Jamal, tak menyembunyikan kekecewaannya.

Keputusan ini pun menuai kecemasan. Awaluddin memperingatkan dampak yang mungkin terjadi apabila dinasti Matakali kembali menguasai. Menurutnya, dominasi politik mereka hanya akan memperkuat status quo dan menutup ruang bagi perubahan nyata di Polman. Apalagi, dengan rencana ABM dan AIM maju dalam Pilgub Sulbar, bayang-bayang dinasti ini akan semakin kokoh, berpotensi menciptakan pemerintahan yang mengakar pada oligarki dan bukan kepentingan rakyat.

Melihat situasi ini, Jamaluddin memberikan saran kepada Aji Assul: jika kelak terpilih, pengaruh rezim Matakali perlu dibatasi. Ia mengingatkan, “Aji Assul harus berhati-hati dan mengatur batasan agar kekuasaan tak kembali didominasi Matakali. Jika tidak, ia akan kehilangan kepercayaan para kader dan rakyat yang dulu mendukungnya.”

Melalui Pilkada ini, masyarakat Polman kini dihadapkan pada sebuah dilema: menerima atau melawan kembalinya kekuasaan dinasti Matakali. Bagi mereka yang pernah merasakan efek pemerintahan keluarga ini, keputusasaan mulai terasa, menyisakan pertanyaan: di tengah perubahan yang terus dijanjikan, siapa yang akan benar-benar berjuang untuk rakyat? (*)