Sikap Aji Assul juga menuai kritik dari dalam partai. Jamaluddin, seorang kader senior Golkar, mempertanyakan keputusannya yang dianggap bertentangan dengan perjuangan partai. Ia mengenang bagaimana Aji Assul dulunya mendapatkan simpati luas karena janji dan kritiknya yang tajam terhadap rezim AIM. Saat itu, Aji Assul dianggap sebagai figur yang berani, yang bersumpah untuk memperbaiki infrastruktur dan kebersihan Polman yang tak kunjung membaik. Namun kini, keberaniannya seolah memudar, berubah menjadi langkah politik yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk kompromi demi kemenangan.

“Aji Assul pernah mengusung semangat perubahan dan menentang dinasti. Kini, ia justru menggandeng pihak yang ia kritik selama ini. Jika ini adalah cara untuk meraih kekuasaan, lalu di mana komitmen yang dulu disuarakan?” ujar Jamal, tak menyembunyikan kekecewaannya.

Keputusan ini pun menuai kecemasan. Awaluddin memperingatkan dampak yang mungkin terjadi apabila dinasti Matakali kembali menguasai. Menurutnya, dominasi politik mereka hanya akan memperkuat status quo dan menutup ruang bagi perubahan nyata di Polman. Apalagi, dengan rencana ABM dan AIM maju dalam Pilgub Sulbar, bayang-bayang dinasti ini akan semakin kokoh, berpotensi menciptakan pemerintahan yang mengakar pada oligarki dan bukan kepentingan rakyat.

Melihat situasi ini, Jamaluddin memberikan saran kepada Aji Assul: jika kelak terpilih, pengaruh rezim Matakali perlu dibatasi. Ia mengingatkan, “Aji Assul harus berhati-hati dan mengatur batasan agar kekuasaan tak kembali didominasi Matakali. Jika tidak, ia akan kehilangan kepercayaan para kader dan rakyat yang dulu mendukungnya.”

Melalui Pilkada ini, masyarakat Polman kini dihadapkan pada sebuah dilema: menerima atau melawan kembalinya kekuasaan dinasti Matakali. Bagi mereka yang pernah merasakan efek pemerintahan keluarga ini, keputusasaan mulai terasa, menyisakan pertanyaan: di tengah perubahan yang terus dijanjikan, siapa yang akan benar-benar berjuang untuk rakyat? (*)